sejarah singkat kota kendari
Perjalanannya mengelilingi pantai
timur Sulawesi mulai di Gorontalo, Poso, Togian, dan menyusuri Teluk
Tomini hingga memasuki Teluk Tolo dalam perjalanan pulang ke
Makassar, yang singgah di Teluk Kendari 9 Mei 1831 membuat J.N. Vosmaer menemukan orang Bajo
dan Bugis (Vosmaer, 1832).
Entah alasan apa J.N. Vosmaer tertarik dengan sebuah teluk yang indah dan kemudian memberinya nama “Vosmaer baai” (Teluk Vosmaer, kemudian terkenal dengan Teluk Kendari).
Entah alasan apa J.N. Vosmaer tertarik dengan sebuah teluk yang indah dan kemudian memberinya nama “Vosmaer baai” (Teluk Vosmaer, kemudian terkenal dengan Teluk Kendari).
Vosmaer sangat kagum dan tertarik dengan Teluk Kendari yang baru ditemukan, sehingga mendorongnya membuat peta dan melakukan penelitian. Ketertarikan Vosmaer itu dibuktikan satu tahun (1832) kemudian dengan mendirikan logde, istanah raja Tebau, dan selanjutnya melengkapinya dengan fasilitas pelabuhan serta mengawasi perkampungan orang Bajo dan Bugis yang beraktivitas sebagai nelayan dari gangguan bajak laut (Tobelo) (Zahari, 1977). Jauh sebelum kota Kendari ditemukan dan dibangun oleh Vosmaer menjadi sebuah kota kolonial di atas bukit di tepi pantai Teluk Kendari. Wilayah ini (Kendari) sebelumnya adalah masuk dalam pemerintahan Kerajaan Konawe yang berkedudukan dipedalaman dengan ibu kotanya Unaaha.
Kini bekas pusat Kerajaan Konawe itu menjadi satu kabupaten otonom yaitu Kabupaten Konawe, sebelumnya bernama Kabupaten Kendari yang dimekarkan tahun 1995. Sedangkan sebagian wilayah Kabupaten Kendari yang terletak di pesisir pantai Teluk Kendari tetap menggunakan nama Kendari menjadi Kota Kendari.
Kandai begitu nama awal Kendari artinya bambu kecil yang digunakan sebagai penokong rakit atau perahu. Selain penamaan Kandai penduduk setempat menyebutnya pula dengan nama Kantahi maksudnya kawasan pemukiman dipesisir pantai. Kedua istilah penyebutan untuk memberi makna tersendiri bagi daerah ini, akhirnya dari kedua nama itu mengalami perubahan menjadi Kendari.
Nama Kendari ini menjadi awal pilihan bagi Belanda untuk melazimkan penamaan daerah ini, kemudian ditetapkan menjadi permukiman disekitar Teluk Kendari (Tarimana, 1998: 3).
Kampung Kandai inilah yang dibangun Vosmaer seorang Belanda pada tahun 1832 menjadi sebuah kota pantai dengan infrastruktur berupa logde (loji), istanah raja, jalan, pelabuhan, pasar, rumah ibadah dan sarana lainnya diatas bukit yang bercirikan kawasan kolonial kemudian menjadi cikal bakal Kota Kendari ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Konggoasa, 1982).
Kota Kendari dibangun setelah pusat Kerajaan Konawe yang berada dipedalaman mengalami masa kemunduran akhir abad ke-19. Namun sebelum berpindahnya aktivitas pemerintahan dari pedalaman (Unaaha) ke Kerajaan Laiwoi mengalami masa-masa kejayaan pada masa pemerintahan raja Tebawo dan Lakidende. Struktur pemerintahan Kerajaan Konawe diatur menurut system “Siwole Mbatohu, O Pitudula Batu” adalah empat wilayah penunjang pemerintah pusat, masing-masing wilayah penunjang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tambo i Losoano oleo atau Gerbang wilayah Timur, adalah wilayah koordinasi kekuasaan Ranomeeto;
2. Tambo i Tepuliano oleo atau Gerbang Barat, adalah wilayah koordinasi kekuasaan Latoma;
3. Bharata i Hana atau Bintara Kanan, adalah wilayah koordinasi kekuasaan Tonga Una, dan
4. Bharata i Moeri atau Bintara Kiri, adalah wilayah koordinasi kekuasaan Asaki/Lambuya (Tamburaka, 1998: 4).
Ketika pusat pemerintahan berada di pedalaman hubungan Hindia Belanda dengan Kerajaan Konawe tidak terlalu penting, karena secara geografis ibu kota kerajaan ini pemerintahannya berpusat dipedalaman, (Unaaha ibu kota Kabupaten Konawe sekarang).
Akses kewilayah kepedalaman sebagai pusat penimbunan hasil pertanian dan perkebunan hanya melalui jalan sepatak, kemudian diangkut melalui beberapa pelabuhan, seperti Sampara, Lasolo, Kolono, dan Tinanggea (Konggoasa, 1982). Kerajaan Konawe akhirnya mengalami keruntuhan setelah terjadi kevakuman kekuasaan, sesudah meninggalnya raja Lakidende. Dewan kerajaan tidak mendapat kesepakatan mengangkat raja pengganti Lakidende. Kegagalan dewan kerajaan ini, antara lain disebabkan terjadinya perpecahan dari dalam dan munculnya pembangkangan pemimpin Ranomeeto sebagai gerbang wilayah timur Kerajaan Konawe. Barata timur yang berfungsi sebagai pelabuhan utamai Kerajaan konawe ini melancarkan protes atas pengangkatan Sulemandara sebagai pengganti Raja Lakidende (Bhurhanuddin, dkk, 1978: 35).
Kekisruhan dan kevakuman kekuasaan dalam tubuh Kerajaan Konawe yang berlarut-larut, memberi kesempatan kolonial Belanda menjalankan siasat politiknya untuk memecah belah para bangsawan Tolaki. Belanda mempengaruhi para elite dan bangsawan Ranomeeto memisahkan diri dari Kerajaan Konawe. Profokasi Belanda berhasil membujuk Sao-Sao (Sapati) di Ranomeeto mendirikan Kerajaan Laiwoi. Keberhasilan Belanda ini setelah terjadinya perjanjian Molawe (Tarimana, 1998: 7).
Pembangunan Kota Kendari dimulai dengan memidahkan ibu kota Kerajaan Laiwoi ke kota istana Raja Tebau di bukit Vosmaer pada tahun 1832. Perkampungan diatas bukit ini berkembang menjadi sebuah kota indah dipantai Timur jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Kandai nama awal Kendari sebelumnya hanya perupakan perkampungan nelayan Bajo dan Bugis. Letaknya yang strategis berada di dalam teluk yang indah mengalami perkembangan pesat, sejak Vosmaer dan Gubernur Jenderal HB di Batavia mengenal kekayaan sumber lautnya dan hasil-hasil pertanian dan perkebunan, sehingga wilayah Sulawesi Timur, terutama Kota Kendari mulai dibangun dan diperhatikan pemerintahan HB dengan menetapkan Vosmaer sebagai Asisten Resident dengan surat keputusan nomor: 16 tanggal 12 Januari 1835 berkedudukan diKota Kendari. Perhatian HB dikawasan ini juga dalam rangka pengamanan atas gangguan bajak laut – Tobelo - yang sering mengganggu masyarakat nelayan (Lihat Bhurhanuddin, 1978, dan H. Konggoasa, 1982).
Bagi Vosmaer Kendari sangat potensil banyak memiliki kekayaan alam dan strategis sebagai pelabuhan alam yang tenang bagi pelayaran dan perdagangan.
Pada tahun 1832 Vosmaer memperoleh izin dari pemerintah HB untuk mengawasi dan mengeksploitasi Teluk Kendari, terutama merlindungi pedagang yang melakukan aktivitas di Teluk Kendari dan orang-orang Bajo dan Bugis yang menetap di pesisir pantai Kendari, misalnya :
1. Menyetujui usaha Vosmaer untuk mengorganisasi orang Bajo yang ada di Teluk Kendari mendapatkan perlindungan keamanan dalam memperdagangkan hasil-hasil laut, seperti lola, teripang, agar-agar, japing-japing, kulit penyu, ekor dan sisip ikan hiyu dan lain-lain.
2. Untuk kelancaran tugas pengamanannya di Teluk Kendari, ia dibekali dengan enam biji meriam kaliber ringan, enam senjata bedial beserta pelurunya. Membebaskan segala ketentuan dan persyaratan untuk memajukan perdagangan senjata api berikut amunisinya.
3. Mengizinkan Vosmaer, membangun teluk Kendari yang dilengkapi dengan mendirikan perumahan pertahanan agar mampu memberikan perlindungan secara permanen kepada orang-orang Bajo dan para pedagang dengan mengibarkan bendera Belanda.
4. Memberikan keluasan kepada Vosmaer mengadakan hubungan yang bersahabat dengan raja-raja di Teluk Kendari, memajukan perdagangan yang menguntungkan HB dengan mengindahkan segala peraturan perdagangan bebas. Dan sedapat mungkin membuat kontak langsung dengan raja-raja lokal, dengan tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak.
5. Dalam mengoperasionalkan hubungan atau perjanjian-perjanjian dengan raja-raja lokal, dan bila kepentingan itu ada sangkut pautnya dengan pemerintah HB, maka Vosmaer boleh bertindak sebagai agen dari Gubernur HB, asalkan tidak setiap saat mempergunakan kesempatan itu, tetap menjaga pengertian yang baik dan menghindarkn kemungkinan timbulnya kekecewaan atau keberatan.
6. Kepercayaan diberikan kepada Vosmaer senantiasa dijaga dapat memajukan daerah, perdagangan antar daerah, sikap penduduk, adat kebiasaan yang akan dikunjungi dan dilaksanakan senantiasa dilaporkan pada Gubernur Sulawesi (Chalik, 1985).
Atas restu HB, Vosmaer memulai pembangunan Kota Kendari ditepi pantai pada sisi bagian utara Teluk Kendari. Kota yang terbagi dua kosentrasi pemukiman, disisi timur muara sungai Kendari dan disebalah tanjung kecil dibagian Barat. Kawasan pembangunan istana raja (Lakino Konawe) disamping logde (loji) dan fasilitas lainnya seakan menjadi simbol tumbuhnya kota kolonial yang dinamakan Kendari, dan ketika itu Kendari dibangun kearah kota pelabuhan dan perdagangan atau kota niaga yang terpenting di pantai timur Sulawesi. Perkembangan Pemerintahan dan Kota Niaga Ada kerisauan dari pihak Belanda dalam meneruskan eksploitasinya terhadap pengawasan di Sulawersi Timur yang sering berhadapan dengan para perompak di laut yang mengganggu kelancaran perdagangan.
Bagian timur Sulawesi tidak hanya kaya dengan produk kelautan, tetapi juga menjadi target bagi para perompak (tobelo), maka kawasan ini menjadi kawasan yang tidak aman dan bahkan bahaya bagi para pelayar dan pedagang yang melintasi pantai timur Sulawesi pada abad ke-18. Teluk Kendari yang menjadi perkampungan yang ramai dengan kehadiran orang-orang Bajo, ketika dilancarkanya Ekspedisi Bone pada tahun 1824-1925 oleh pemerintah Belanda untuk mengamankan dan menangkap bajak laut yang mengganggu kelancaran perdagangan diperairan Teluk Bone. Akibat dari ekspedisi tersebut orang-orang Bajo yang banyak menetap tinggal dipesisir pantai Teluk Bone (Bajoe sekarang) sebahagian besar pindah ke daerah Teluk Kendari bersama dengan orang-orang Bugis dibawa pimpinan Arung Bakung (Esther, 1993: 2). Kendari yang menjadi bandar transito, sudah memainkan peran sejak paroh ketiga abad ke-18. Sebagai ibu kota Kerajaan Laiwoi mengalami perkembangan pesat sesudah masuknya Belanda. Pemukiman penduduk kota Kendari terbagi dua komunitas perkampungan. Disebelah Barat terdapat Lepo-Lepo yang berada dialiran Sungai Lepo-Lepo ibu kota Kerajaan Laiwoi tempat Raja Tebau. Sedangkan Kandai terletak disisi Utara teluk menjadi pusat kegiatan administrasi pemerintahan melalui keputusan pemerintah HB tanggal 9 Mei 1835 no.2 yang menetapkan pembangunan kota Kendari yang mulai dirintis oleh Vosmaer sebagai berikut:
1. Selama dua tahun, Vosmaer menggunakan kapal pemerintah untuk melanjutkan pemetaan dan penyeledikan di Sulawesi Timur.
2. Gubernur di Makassar memberikan izin untuk mengumpulkan, membina dan memberikan perlindungan bajak laut di Teluk Kendari. Sehubungan dengan tugas itu, ia diberikan biaya f1200 – f1800 setiap tahun.
3. Memberikan peralatan pemetaan tentang pantai dan kedalaman laut, serta alat-alat pertukangan yang dibutuhkan.
4. Meluaskan Vosmaer di Teluk Kendari untuk mengeluarkan surat-surat perjalanan perahu yang keluar masuk milik pribumi.
5. Menugaskan Vosmaer untuk meneruskan kegiatan-kegiatannya dalam melajutkan perdagangan di Sulawesi Timur (Konggoasa, 1982).
Sejak kota Kendari tumbuh menjadi sebuah kota pantai yang muncul dari perkampungan orang Bajo dan Bugis dengan aktivitas mereka sebagai nelayan (aktivitas kemaritiman). Karena mereka tinggal ditepi pantai Teluk Kendari, maka perhubungan yang dikenal saat itu adalah melalui laut yang menggunakan perahu layar. Lokasi ini banyak dikunjungi pelaut dan perdagang dari Makasar Kerajaan Gowa) dibagian Barat dan Ternate (Maluku) dibagian Timur Nusantara. Pada awal abad ke-19 Kerajaan Konawe sedang menuju proses keruntuhan. Ranomeeto sebagai salah satu wilayah Kerajaan Konawe dibagian Tambo I losoano oleo tumbuh menjadi Kerajaan Laiwoi. Agar hubungan baik antara Belanda dengan pemerintahan Laiwoi tetap terbina, maka pada tahun 1836 Vosmaer sering berlayar dengan perahu melintasi Sungai Wanggu menuju ke Lepo-Lepo menemui Raja Tebau. Disana ia membeli hasil produksi mereka, terutama beras dalam jumlah yang banyak, kemudian tukarkan dengan kain-kain tenun, barang dari kuningan, serta gong dari Kerajaan Buton (Zahari, 1977). Belanda yang sibuk dengan pembangunan kota Kendari, terusik pula dengan terjadinya kekacauan di Kerajaan Gowa, Bone, dan Buton. Sesudah kerajaan-kerajaan tersebut dikuasai barulah mengatur pemerintahan Afdeeling Oost Celebes atau Afdeling Sulawesi Timur meliputi daerah-daerah Buton, Muna, Kendari, Luwuk Banggai, dan Bungku/Mori (Said D., 1997). Lahirnya Kerajaan Laiwoi paroh kedua abad ke-19, yang dipimpin La Magu sebagai raja Laiwoi mulai melepaskan dirinya dari ikatan Kerajaan Konawe, sekalipun Saranani masih menjabat sebagai Sulemandara Konawe berkedudukan di Pondidaha. La Magu yang mendapat legitimasi dari penguasa HB mulai mengatur pemerintahan menetapkan personil kabinetnya yang terdiri dari jabatan-jabatan: Batuangan sebagai Sapati, Malaka sebagai Kapita, dan La Palewo sebagai Punggawa. La Magu menanda tangani kontrak pertama Kerajaan Laiwui dengan Gubernur Jenderal HB melalui Perjanjian Panjang - Long Contract - pada tanggal 13 April 1858 terdiri dari 27 pasal. Sao-Sao menggantikan La Magu yang meninggal tahun 1865 menjadi raja Laiwoi, namun karena belum dewasa, maka Raja Sao-Sao baru dilantik pada tanggal 15 Mei 1880 (Said D., 2005). Setelah Sao-Sao resmi menjadi raja, ia menanda tangani perjanjian kedua, masing-masing; Sao-Sao mewakili Hadat Kerajaan Laiwoi dengan Resident Bensbach mewakili pemerintah HB pada hari Senin tanggal 21 Desember 1885 di atas kapal “Borneo” yang sedang berlabuh di luar Teluk Kendari. Perjanjian itu terdiri dari 18 pasal, dan salah satu pasalnya adalah Hadat Kerajaan Laiwoi mengakui secara syah pemerintah HB dan Laiwoi masuk dalam pemerintahan HB. Untuk memperkuat posisi HB di Kerajaan Laiwui pada bulan November 1910 hingga Juli 1913 telah di tempatkan di Kendari Letnan I.F. Trefers sebagai komondan Pos militer dengan tugas utama adalah menjalankan pemerintahan sipil di Onderafdeeling Kendari. Hilangnya kedaulatan Kerajaan Laiwoi, setelah Raja Sao-Sao mewakili kerajaannya menanda tangani Korte Verklaring pada tanggal 30 Agustus 1917 yang disyahkan oleh Gubernur Jenderal HB No. 5 tanggal 2 Agustus 1918. Tekaka sejak tahun 1928 telah menggantikan Sao-Sao yang meninggal dinobatkan sebagai Raja Laiwoi pada tanggal 9 November 1933 stambel (Lembaran Negara) tahun 1927 Nomor: 277, sekaligus mengatur hubungan Landschap Laiwoei dengan Gubernemen HB. Pada permulaan tahun 1918 pemerintah HB menetapkan pembentukan Afdeeling Boeton en Laiwoei berdasarkan (Bijbled 14377) yang meliputi tiga wilayah onderafdeling, yaitu Onderafdeeling Buton, Onderafdeeling Muna, dan Onderafdeeling Kendari dengan pusat pemerintahan dan ibu kotanya Bau-Bau (Said D., 1997). Kota Kendari menuju Pluralitas Penduduk Persoalan yang dihadapi kota-kota di Indonesia pada periode terkini adalah masalah penduduk, ruang, tanah dan lahan.pemukiman dan kegiatan usaha. Paling tidak persoalan ini telah ada sekitar 1900-an, isu peledakan penduduk, kemiskinan, lapangan pekerjaan dan perumahan serta gejala urbanisasi mulai mengemuka, sebagaimana tercermin dalam isu tentang kemerosotan kemakmuran yang muncul pada masa itu. Isu-isu itu mengundang tuntutan perbaikan kebijakan dari pihak pemerintah. Kebijakan Politik Etis dengan trilogi programnya, yaitu pendidikan, emigrasi dan irigasi, dan kebijakan perbaikan kampung (Kampung Verbetering), penanggulangan kesehatan, dan lainnya yang dilancarkan pada sekitar dua dekade pertama awal abad ke-20 merupakan solusi penting terhadap persoalan yang mengemuka pada masa itu. Sementara itu, perkembangan kota-kota kolonial atau kota-kota Indies pada 1900-1940-an meningkat. Perkembangan kota yang terjadi pada masa itu, memiliki ciri khas yaitu menjadi basis kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat, kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Pribumi. Dari kalangan kelompok tersebut sesungguhnya kesadaran akan bangsa dan identitas baru muncul, yaitu indentitas "orang Indonesia". Sudah tumbuh di kota-kota besar, seperti Jakarta (Batavia), Kota Bandung, Yogyakta, dan Surabaya menjadi pusat modernisasi. Hal yang sama juga berlaku untuk Kota Semarang, Medan, dan Makasar (Colombijn, dkk, 2005: 31). Pesatnya proses modernisasi, industrialisasi, komersialisasi dan edukasi yang terpusat di kota-kota besar telah menjadi faktor pengerak perubahan dan daya tarik arus urbanisasi dan migrasi penduduk ke daerah perkotaan. Kota menjadi impian bagi penduduk yang berada di pedesaan. Selain karena itu, kemajemukan penduduk yang telah menjadi ciri kota-kota kolonial, pada masa awal kemerdekaan menjadi semakin berkembang dan lebih-lebih pada masa sesudahnya. Pluralitas penduduk dibeberapa perkotaan, menjadi faktor pemicu berlangsungnya proses integrasi dan sosialisasi dalam konteks kekotaan di Indonesia. Proses pengindonesiaan ini berlangsung tidak hanya melalui kegiatan dalam segi-segi admininistari dan politik pemerintahan dan perekonomian saja, tetapi juga melalui proses interaksi sosial dan dialog budaya antar etnis. Kota Kendari, misalnya pada periode abad ke-19 telak berkembang menjadi pusat pemukiman. Pada tahun 1824 ketika pengusiran orang-orang Bajo dari Teluk Bone yang dilakukan Belanda, maka terjadi migrasi besar-besaran orang Bajo ke Teluk Kendari. Kepindahan orang Bajo ini diikuti pula dengan bangsawan Bone bersama pengikutnya dan Teluk Kendari menjadi pemukiman orang Bajo terbesar di Sulawesi (Esther, 1993: 5). Arus migrasi memasuki Kota Kendari terjadi pula pada 1861 yang berasal
dari Muna mulai dari La Ode Ngkada Kapitalau Lohiya karena berseberangan pendapat dengan Raja Muna La Ode Bulai, ia bersama 300 orang pengikutnya menetap di Kendari. Orang-orang to Rete yang berasal dari Wawonii menjadi pula penduduk Teluk Kendari menempati kawasan perbukitan di sebelah Utara teluk, yaitu Kampung Mata, Nii, Sadohoa dan Lahudape. To Kapontori mendiami Kampung Kapontori antara Tipulu dan Lahundape (Chalik, 1985: 24-25).
Berkembangnya kota Kendari sebagai pusat kekuasaan kolonial mulai dilengkapi dengan fasilitas militer mendirikan tangsi tentara Belanda di atas bukit didekat bangunan loji dan istanah raja dan fasilitas pemerintahan, baik sebagai
perkantoran, rumah jabatan kepala pemerintahan dan perumahan pengawai serta fasilitas peribadatan seperti Gereja semuanya berlokasi diatas bukit. Pada periode berikutnya, dimana kota Kendari mulai memperlihatkan sebuah ciri kekotaan, pusat pemerintahan Kerajaan Laiwui di Lepo-Lepo dipindahkan di kota Kendari. Kepindahan ibu kota sebagai pusat pemerintahan, mendorong dibangunnya fasilitas Pelabuhan alam Teluk Kendari dan pasar kota Kendari, sehingga Kendari berkembang menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. Wajah fisik kota Kendari semakin bertambah luas dan ramai, kehidupan sosial yang semakin semarak, ketika 1920 diramaikan dengan kehadiran orang-orang Cina dan Arab membangun pusat pertokoan. Infrastruktur kota dibangun, seperti pasar sebagai pusat perbelanjaan, perluasan fisik kota dengan mereklamasi pantai dan penimbunan tebing-tebing disekitar tanjung bagian timur, maupun bagian barat yang sebelumnya merupakan teluk kecil. Periode ini perluasan fisik kota semakin berkembang, orang-orang Bajo yang terkonsentrasi pada kampung Langi Bajo mulai merasakan ketidak nyamanan, terusik dan terdesak akhirnya meninggalkan tempat perkampungan ke wilayah lain dalam Teluk Kendari. Ketika jalan yang menghubungkan Kendari dengan daerah pedalaman mulai dibuka (Kendari – Wawotobi) pada tahun 1912. Kampung-kampung disepanjang Teluk telah menjadi konsentrasi pemukiman penduduk. Perluasan kearah utara pesisir pantai, seperti kampung-kampung Sadohoa, Benu-Benua, Tipulu, Kapontori, dan Lahudape berkembang menjadi bagian dari perluasan kota. Jalur jalan yang dibuka menuju ke Barat yang menyusur pinggir pantai menambah padatnya kota Kendari.
Perluasan kota Kendari dibagian Selatan teluk, topografinya tidak mengalami perubahannya, kecuali pemukiman di Lapulu, Abeli dan Pulau Pandan dan kampung Butung diseberang laut (Said D. 2005). Perkembangan kota Kendari dari Timur ke Barat adalah kawasan perkampungan antara Kampung Sadohoa disebalah Barat sampai dengan kampung Butung di sebelah Timur menjadi pusat Kota Kendari mulai dari Kampung Butung, Kendari Caddi, Kampung Salo, Kandai (Kendari kota), Kampung Jati, Kampung Bajo, dan Kampung Baru. Kearah Barat terdapat kampung-kampung Sadohoa, Benu-Benua, Tipulu, Kapontori, Lahudape, Mandonga dan Punggolaka yang mengikuti jalur jalan Kendari Wawotobi. Dari simpang Mandonga kearah Selatan menuju Lepo-Lepo terdapat kampung Kadia, Wua-Wua dan Lepo-Lepo. Kearah Timur menuju Selatan teluk terdapat kampung-kampung Kambu, Anduonohu, Anggoeya, Abeli, Pulau Pandan, Talia, Nambo dan Bungkutoko. Sedang didepan teluk terdapat kampung Kassilampe dan Kampung Mata (H.A. Chalik, 1985: 29-30; Konggoasa, 1982). Perubahan yang menonjol terjadi ketika pusat pemerintahan Kerajaan Laiwoi di pindahkan dari Lepo-Lepo Ranomeeto ke Teluk Kendari pada tahun 1832. Dampak langsung dari kebijakan pemindahan pusat pemerintahan adalah pembangunan dan perbaikan fasilitas kota berupa sarana pelabuhan dan jaringan jalan. Selain itu, penyediaan fasilitas umum seperti pendirian asrama militer dan perumahan, air bersih, telepon, sekolah, serta fasilitas transportasi darat.
Kesemuanya itu merupakan bagian dari kepentingan politik ekonomi Hindia Belanda untuk mengambil keuntungan dari semua fasilitas yang disediakan kepada rakyat dalam bentuk penarikan pajak dan tenaga kerja. Pemerintah kota sebagai simbol kekuasaan melahirkan kekerasan, pengusuran, dan penghancuran bangunan-bangunan bernilai sejarah yang mencirikan kota tradisional telah kehilangan makna. Penduduk kota yang terdiri dari multi etnis dan dengan merefleksikan budayanya masing-masing, sangat rentang dengan konflik-konflik sosial, bilamana tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai gejolak. Untuk menghindari konflik sosial salah satu tawaran solusi adalah meningkatkan pendidikan multikuralisme agar generasi muda dan warga kota saling memahami dan menghormati perbedaan budaya masing-masing etnis. Tentu kita sangat berharap untuk tidak terjadinya kasus-kasus konflik dan kerusuhan sosial antar etnis, seperti peristiwa Ambon, Palu, Sampit dan daerah lainnya di Indonesia.
Dalam perkembangan sejarahnya, Kota Kendari terbentuk tidak terlepas dari kehadiran orang-orang Bajo dan Bugis di Teluk Kendari yang membentuk pusat-pusat pemukiman. Dalam perkembangannya kota Kendari menjadi kota niaga, setelah Vosmaer membangun kota Kendari pada tahun 1832, dan kemudian menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Laiwoi setelah memindahkan istana raja Tebau dari Lepo-Lepo ibu kota Kerajaan Laiwoi ke Teluk Kendari. Kota Kendari berkembang menjadi kota niaga yang penting dipesisir timur Sulawesi. Paru kedua abad ke-19 kota Kendari berkembang sebagai pusat perdagangan antar pulau dikendalikan oleh pedagang-pedagang Cina, Arab, dan Eropa. Dan secara bersamaan diikuti dengan menurunya aktivitas perompakan yang mengganggu pelayaran dan pedagang di Teluk Kendari. Berkurangnya aktivitas bajak laut disebabkan Belanda melakukan kebijakan untuk melindungi para nelayan Bajo dan para pedagang yang tinggal/menetap di Teluk Kendari. Ketika pemimpin-pemimpin lokol mengalami kesulitan mempertahankan posisi mereka yang disebabkan meningkatnya perompakan dan tidak punya akses untuk mendapatkan senjata, maka kekuatan digantikan oleh perompak atau bajak laut dari Ternate untuk mengamankan perdagangan di Teluk Kendari, kendali pengawasan perdagangan diambil alih pemimpin-pemimpin lokal yang disebut oleh sahbandar di bawa kontrol Belanda. Perluasan pemukiman di Kota Kendari cenderung ke arah sekitar pesisir
pantai melingkari teluk. Pasar dan kantor syahbandar didirikan di sekitar pantai yang dekat pelabuhan. Apabila melihat dinamika yang terjadi di Kota Kendari, maka terlihat perkembangan kepada suatu ciri kota niaga atau kota pelabuhan yang mengandalkan sektor perdagangan sebagai basis perkembangannya. Kondisi ini didukung oleh posisi geografis (letak kota) dan aktivitas masyarakatnya yang sebagian besar berorientasi pada sektor pelayaran dan perdagangan. Wajah kota Kendari terlihat dari infrastrukturnya mengikuti jalur pantai dan orientasi ekonomi ke pengembangan pelabuhan sebagai pendukung perdagangan dan pelayaran.
(Drs. Said D., M.Hum)
bersama KendariKreatif untuk Sejarah & Kebudayaan Lokal membangun Ekonomi
Kreatif Sultra - Indonesia.
Komentar
Posting Komentar